Empati bukan menghakimi

 

"Jangan menghakimi seseorang karena apa yang dialaminya, sementara engkau sendiri tidak pernah mengalaminya."

Kalimat sederhana yang tidak mudah untuk dilakukan. Betulkan? Hai orang yang belum pernah jatuh cinta! Apa yang akan kamu katakan, ketika bertemu dengan orang yang sedang jatuh cinta, secinta-cintanya sampai bucin tingkat dewa? Sampai tidak bernalar alias nekat bertindak bodoh, hingga menyakiti dirinya sendiri. Pasti kamu akan bilang," Lo bodoh, ngapain juga berkorban sampai segitunya. Lihat saja, dia bahkan tidak setia.”

Pernahkah Anda nyinyir melihat orang mencoba bunuh diri karena stres? Menganggap apa yang orang itu lakukan adalah tindakan orang yang kurang beriman. Tidak bisa ikhlas menerima takdir yang Tuhan berikan. Kalau Anda pernah atau mungkin sering melakukan itu, saya juga pernah. Bahkan mendogma otak saya, bahwa orang-orang itu sangat-sangat bodoh. Hidup ini terlalu indah untuk disia-siakan, bla bla bla... dan banyak lagi penilaian negatif yang kita berikan, dan menempatkan diri sendiri seolah-olah paling baik dan mulia.

Halo.. jangan menilai diri terlalu tinggi, kalau jatuh sakit! Ingatlah, kehidupan itu seperti roda yang akan terus berputar. Masalah orang itu tidak hanya karena kemiskinan, cinta dengan lawan jenis, pekerjaan, usaha, atau apa saja yang dapat dinilai secara material. Sejujurnya ada banyak hal yang tidak kita pahami dari kehidupan orang lain, mungkin juga kehidupan kita. Kita tidak bisa melihat masalah orang lain, dengan kacamata yang kita pakai. Lha wong minusnya beda!

Belajar berempati dari setiap hal yang sedang dialami orang di sekitar kita, jauh lebih baik daripada menghakimi. Karena kita tidak tahu, kapan persoalan itu hadir dalam hidup kita. Kapan kita terjatuh, dan merasa tidak sanggup untuk bangun lagi. Bersyukurlah kepada Tuhan, kalau sampai saat ini Anda masih belum menghadapi sesuatu yang dapat mengoyahkan iman. Bersyukurlah..dan jangan menghakimi. Karena apabila saat itu tiba, Anda akan malu dan menyesali tindakan itu.

Aduh kamu, nyinyir amat! Sok kasih nasihat! Sudah bener hidup Lo! Anda benar, sangat benar. Saya bukan orang benar, tapi pernah merasa benar. Melihat orang lain dengan kacamata kuda yang saya pakai, menghakimi orang lain yang melakukan tindakan “konyol” dan tidak sesuai ajaran Tuhan.  Jeder, dalam suatu kondisi tertentu tiba-tiba saya terantuk, dan jatuh sangat dalam. Saya pun hampir melakukan tindakan bodoh itu. Untung saya mempunyai keluarga yang memeluk dengan erat, dan tidak membiarkan saya menghadapi kejatuhan saya sendirian.

Bersyukur, bersyukur, dan bersyukurlah, jika dalam pergumulan kita masih punya orang lain yang mendukung. Sehingga kita tidak sampai melakukan tindakan merugikan diri sendiri. Cukupkah hanya mensyukuri nikmat yang kita miliki itu? Tidak, sebagai orang yang mendapatkan penguatan dari orang lain. Seharusnya kita pun melakukan hal serupa kepada orang lain. Lakukan hal  sederhana yang bisa dilakukan. Berikan telinga untuk mendengar orang yang membutuhkan telinga. Berikan tangan untuk memeluk, mereka yang merindukan kehadiran seseorang. Berikan kaki untuk menemani orang yang tengah berjalan sendiri. Berikan hati, berikan yang kita bisa.

Coba rasakan, dan resapi setiap kejadian yang boleh terjadi di sekitar kita dengan mata hati. Tempatkan diri kita pada posisi mereka, sebelum kita mengeluarkan penghakiman. Meski sekali lagi saya katakan, hal itu tidak mudah. Tidak mudah, bukan tidak bisa. Semangat, kita bisa.

Selamat berempati. 

 

Komentar

  1. Yes, nice post. Inspiratif banget untuk mendidik orang lain untuk bijak dengan kondisi dan belajar menghargai dengan berempati. Setuju banget mbak say. Isi blog ku dulu juga seperti ini. Ada hal-hal yang ingin disampaikan melalui hati jika secara langsung tak mampu dilakukan.

    Yess... semangat berkarya melalui aksara. 😘😘😘

    BalasHapus
    Balasan
    1. terima kasih sudah mampir. Baru belajar..masih polosan hahaha

      Hapus
  2. Yupp! Belajar berempati dan berhenti untuk menghakimi, karena kembali lagi kita tidak bisa mengukur kaki kita di atas sepatu orang lain. Setiap pribadi memiliki ceritanya masing-masing, lengkap dengan perjuangan yg kadar levelnya jelas berbeda satu sama lain.

    Thank for reminder mba 🙏 bahasanya lugas dan jleb sekali.

    BalasHapus
  3. sepakat mbaaak, sejak menjadi ibu sering mnerasa kalau empati mulai terkikis

    BalasHapus
  4. Nggak mudah ya bisa empati sama orang lain, tapi bisa berlatih, karena kurangnya empati bisa nyakitin orang lain.

    BalasHapus
  5. Era digitalisasi membuat kita kadang hanya bisa berkomentar tanpa banyak berempati. Tulisan ini sangat menyentil sekali

    BalasHapus
  6. Betul.. Jangan mudah menghakimi. Karena kita nggak tau gimana sebenarnya mereka, dan mereka pun nggak tau sebenarnya kita.

    BalasHapus
  7. Bijak dan empati dua kata jarang terpisahkan

    BalasHapus
  8. Betul banget kak, karena yg tau masalahnya ya orangnya sendiri

    BalasHapus
  9. Mantap, Mbak. Intinya, kita punya masalah masing-masing, selesaikan masalah sendiri dulu. Jangan mencampuri masalah orang lain, kecuali dia minta bantuan.

    BalasHapus
  10. Nasihat yang bagus sekali, Mbakyu. Terus semangat membagikan kebaikan lewat tulisan ya.

    BalasHapus
  11. Aku kalau kawan sedang sedih cuma bilang " Kalau mau cari kawan ngobrol, aku bisa temani." Setidaknya dia sudah bisa mengeluarkan uneg-unegnya..kalau gak diminta pendaoat ya diam saja🤭

    BalasHapus
  12. Menilai orang itu lebih mudah, sehingga mudah banget terjerumus jadi nyinyir.

    BalasHapus
  13. Pada akhirnya kita memang harus peka pada keadaan org lain ... Thanks mba for sharing

    BalasHapus
  14. Thanks sharingnya mbak, empati dan simpati emang susah banget ditanamkan dalam diri

    inspiratif sekali sharingnya, semoga saya juga bisa memperbaiki diri dengan lebih peka dan empati pada keadaan sekitar

    BalasHapus
  15. Trims sharingnya mba.. bisa dijadikan pengingat diri untuk tetap bijak menyikapi setiap permasalahan yang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.

    BalasHapus
  16. Terima kasih sharingnya mbak. Ilmu baru lagi

    BalasHapus
  17. Karena menghakimi memang mudah. Introspeksi yang susah.

    BalasHapus
  18. Bener banget, jangan berhenti di "simpati" Lanjutkan ke "empati'

    BalasHapus
  19. Pernah banget, Kak berpikiran begitu, menghakimi ornag lain. Halah, cuma ditinggal pacar aja sampai gak mau makan dst. Emang cowok cuma dia doang?
    Dan hal-hal senada. Dulu.

    Sekarang dan seterusnya akan terus berusaha jadi individu yang punya hati. Nice mbak

    BalasHapus
  20. Ternyata berempati itu tidak sederhana ya. Salah kata yang dipakai, bisa dianggap menghakimi. Berempati sungguh sebuah ilmu tinggi

    BalasHapus
  21. Saya pun pernah lupa, bahwa kadar kekuatan orang itu berbeda-beda, Mbak. Terima kasih untuk catatan inspiratifnya, Mbak Kingkin. 😊

    BalasHapus

Posting Komentar